Sabtu, 12 Juni 2010

Ashabah

A. Pengertian ‘Ashabah

Ahli waris ada beberapa jenis yaitu ada yang sudah mendapat bagian yang telah tertentu (zawil furudl), dan ada yang mendapat semua bagian atau semua sisa (ashabah).

Kata ashabah dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian, karena mereka yakni kerabat bapak menguatkan dan melindungi. Dalam kalimat bahasa arab banyak digunakan kata ‘ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat, diantaranya dalam firman Allah dalam Al-Qur’an (Surat Yusuf ayat:14)

“Mereka berkata: Jika ia benar-benar dimakan srigala, sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.”

Dinamakan ‘ashabah juga bagi mereka yang berhak atas semua peninggalan bila tidak didapatkan seorangpun di antara ashhabul furudh, karena hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, dari ibnu ‘Abbas, Nabi SAW berkata :

“berikanlah bagian-bagian yang telah ditentukan itu kepada pemiliknya yang berhak menurut nash; dan apa yang tersisa maka berikanlah kepada ashabah laki-laki yang terdekat kepada si mayit.”

Ashabah menurut para ulama dan yang paling masyhur ialah ahli waris yang tidak memperoleh bagian yang tertentu tetapi (mungkin) mereka berhak mendapat seluruh harta peninggalan jika tidak ada zawil furudl, atau mungkin medapatkan seluruh sisa harta peninggalan setelah dibagikan kepada zawil furudl.

Kemungkinan lainnya dari ashabah ialah tidak menerima bagian, karena harta peninggalan sudah habis dibagikan kepada zawil furudl.

B. Pembagian Ashabah

Ashabah terbagi menjadi dua bagian yaitu[1],

  1. Ashabah Nasabiyah
  2. Ashabah Sababiyah

1. Ashabah Nasabiyah

Ashabah nasabiyah adalah ashabah yang disebabkan oleh hubungan nasab antara pewaris dan ahli waris. Ashabah nasabiyah terbagi menjadi tiga golongan yaitu,

1) Ashabah Binafsih.

Yang dimaksud dengan Ashabah binafsih adalah kerabat laki-laki yang dipertalikan dengan orang yang meninggal tanpa diselingi oleh orang prempuan.[2]

Atau ahli waris yang berhak mendapat semua sisa harta waris secara langsung dengan sendirinya (bukan bersama ahli waris yang lain atau tanpa disebabkan orang lain) mereka berjumlah 12 orang, yakni :

    1. Anak laki-laki
    2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki (terus kebawah asal pertaliannya laki-laki)
    3. Bapak (jadi dalam hal ini bapak memperoleh sebagai furudl dan juga memperoleh ashabah)
    4. Kakek (dari pihak Bapak dan terus keatas).
    5. Saudara laki-laki sekandung
    6. Saudara laki-laki sebapak
    7. Anak saudara laki-laki sebapak
    8. Anak saudara laki-laki sekandung
    9. Paman yang sebapak dengan bapak
    10. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak.
    11. Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak.

Jika harta warisan itu telah habis dibagikan kepada ahli waris yang mempunyai bagian tetap, ia tidak memperoleh bagian apa-apa. Misalnya ada seorang istri meninggal dengan ahli warisnya terdiri dari suami, saudara sekandung, dan saudara laki-laki seayah. Menurut ketentuan hokum waris, suami mendapatkan ½. Demikian juga saudara perempuan sekandung memperoleh bagian setengah. Dengan demikian, saudara laki-laki seayah tidak mendapatkan bagian sebab ahli waris yang mempunyai bagian tetap telah menghabiskan semua harta peninggalan si pewaris.

Apabila jumlah ahli waris Ashabah binafsih lebih banyak lagi maka harus di tarjih (dicari mana yang lebih kuat hubungan kekerabatannya). Yang urainnya sebagai berikut:

a. Tarjih Bil Jihat

Apabila Ashabah binafsi jumlahnya cukup banyak. Ashabah yang menduduki jalur urutan pertama harus didahulukan daripada jalur ke dua, dan seterusnya. Disini garis anak lebih didahulukan daripada Bapak Sebab keduanya memiliki posisi sederajat dari segi kedekatan nasab pada seseorang, ayah sebagai pokok dan anak merupakan cabang. Berdasarkan posisi ini seyogyanya garis anak didahulukan dari pada bapak. Namun demikian, ada dua landasan mengapa garis anak lebih didahulukan. Landasan pertama berupa dalil Al-Qur’an, sedangkan kedua dalil aqli. Firman Allah yang artinya: “dan untuk dua orang bapak ibu, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu punya anak”(An-nisa:11)

b. Tarjih Biddarajah

Apabila ashabah binafsih terdiri atas beberapa orang dan jalurnya sama, cara pembagiannya adalah menurut tingkatannya dengan mendahukan mereka yang lebih dekat kedudukannya dengan orang yang meninggal. Misalnya seorang meningal dengan ahli warisnya adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak anak laki-laki, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah anak laki-laki, sebab kedudukannya lebih dekat dengan orang yang meninggal

c. Tarjih biquwwatil qarabah

Apabila ashabah terdiri dari satu jihat dan derajat yang sama, harus ditarjih melalui kekerabatan, artinya harus didahulukan mereka yang kuat kekerabatannya. Misalnya anak laki-laki sekandung harus didahulukan dari pada anak laki-laki seayah.

Ada yang perlu diketahui lagi bahwa Ashabah bi nafsih, harus dari kalangan laki-laki, sedangkan dari kalangan wanita hanyalah wanita pemerdeka budak, itu juga jika si budak tidak nenpunyai keturunan atau kerabat.[3]

2) Ashabah Bil Ghair

Ialah ahli waris perempuan yang berhak mendapatkan semua sisa harta karena bersama (ditarik/tertarik) bersama ahli waris yang lain. Para ashabah ini semuanya adalah perempuan semuannya ada empat orang:

1) Anak perempuan (menjadi ashabah karena ada saudaranya yang laki-laki atau bersama anak laki-laki).

2) Cucu perempuan (karena bersama cucu laki-laki).

3) Suadara perempuan sekandung (menjadi Ashabah bersama/ditarik saudara laki-laki sekandung).

4) Saudara perempuan sebapak (jika bersama/ditarik saudaranya yang laki-laki)

Syarat-Syarat Ashabah bil Ghair

Ashabah Bil Ghair ini tidak akan terwujud kecuali dengan beberapa syarat sebagai berikut:

Pertama: haruslah wanita yang tergolong ashabul furudh. Sebagai contoh, anak perempuan dari saudara laki-laki tidak menjadi ashabah bil ghair dengan adanya saudara kandung laki-laki dalam deretan ahli waris. Sebab dalam keadaan demikian, anak perempuan saudara laki-laki bukanlah termasuk ashabul furudh.

Kedua: laki-laki menjadi Ashabah (penguat) harus yang sederajat. Misalnya, laki-laki tidak dapat dijadikan penta’shib (penguat) acucu perempuan, dikarenakan ank laki-laki tidak sederajat dengan cucu prerempuan, bhakan ia berfungsi sebagai penghalang hak waris cucu. Begitu juga anak laki-laki keturunan saudara laki-laki tidaklah dapat menguatkan saudara perempuan sekandung disebabkan tidak sederajat.

Ketiga: laki-laki penguat herus sama kuat dengan ahli waris perempuan shahibul furudh. Misalnya, saudara laki-laki seayah tidak dapat menta’shib saudara kandung perempuan. Sebab saudara kandung lebih kuat kekerabatannya dari pada saudara laki-laki seayah.

Adapun sebab penamaan Ashabah bil Ghair adalah karena hak Ashabah keempat itu bukanlah karena kekerabatan mereka dengan pewaris tetapi karena adanya Ashabah lain, seperti saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah mereka. Bila Ashabah binafsih tersebut tidak ada maka, keempat wanita tersebut mendapat hak warisnya secara fardh.

Dalil bagi hak para ashabah bil ghair adalah Firman Allah surat An-Nisa ayat 11 :

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS An Nisaa 11)

3) Ashabah Ma’al Ghair

Ialah ahli waris yang berhak menjadi ashabah bersama-sama ahli waris yang lainnya, ashabah ini ada dua orang. Yang menjadi landasan Ashabah Maal Ghair ialah hadits yang diriwayatakan oleh Imam Bukhari dan lainnya. Bahwa Abu Musa Al-Asy’Ari ditanya tentang hak waris perempuan, cucu keturunan anak laki-laki, dan saudara perempuan sekandung atau seayah. Abau musa menjawab bagian anak perempuan separo dan bagian saudara perempuan separo. Penannya itu pergi lagi kepada Ibnu Mas’ud dan di jawab : Aku akan memvonis seperti apa yang dikatakan oleh nabi Rasulullah saw, bagi anak perempuan setengah dan bagi cucu permpuan anak laki-laki adalah seperenam sebagai penyempurna dua pertiaga, dan bagian saudara perempuan kandung atau seayah adalah mendapat dari sisannya. Kemudian si penannya kembali lagi kepada Abu-Musa Al-Asy’ari dan menceritakan apa yang telah diputuskan oleh Ibnu Mas’ud. Lalu Abu Musa Al-asyari berkata: janganlah kalian menanyakannya kepadaku selama yang alim berda bersama kalian.

1) Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama-sama anak perempuan atau cucu perempuan. Tentu saja mereka mendapat bagian setelah ahli waris yang lainnya mengambil bagiannya.

2) Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan.

Catatan

Sangat penting untuk diketahui bersama bila seorang saudara kandung perempuan menjadi Ashabah maal ghair, maka ia menjadi seperti saudara kandung laki-laki sehingga dapat mengahalangi hak waris saudara seayah, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Selain itu, dapat pula menggugurkan hak waris dibawah mereka, seperti keponakan, pamankandung maupun yang seayah.

2. ‘Ashabah Sababiyah

‘Ashib Sababi adalah maula (tuan) yang memerdekakan. Bila orang yang memerdekakan tidak ada, maka warisan itu bagi ‘ashabahnya yang lelaki.[4] Pada zaman kini ashabah nasabiyah sudah tidak ada lagi dikarenakan sudah tidak berlakunya sistem perbudakan.

Penutup

Ashabah adalah golongan yang tidak mendapatkan bagian yang tentu dalam ilmu mawaris. Ashabah terbagi menjadi dua yaitu :

1. Ashobah Nasabiyah

2. Ashobah Sababiyah

Untuk ashobah nasabiyah adalah ashobah yang disebabkan oleh hubungan nasab antara pewaris dan ahli waris. Ashabah nasabiyah terbagi menjadi tiga golongan yaitu :

1. Ashabah Binafsihi

2. Ashabah bil Ghoir

3. Ashabah ma’al ghoir

Sedangkan ashabah sababiyah adalah ashabah yang terjadi dikarenakan seorang maula (tuan) yang membebaskan budak. Pada zaman ini ashabah nasabiyah tidak ada lagi karena sudah tidak adanya perbudakan.



[1] Sayid Sabiq,. Fiqh Sunnah, terjemahan Mahyudin Syaf, jil.14, Penerbit Al-Maarif, Bandung,1993 h.260

[2] Faturrahman. Drs., Ilmu mawaris PT-Al-Ma’arif , bandung, 1987 hlm 340.

[3] Muhammad Ali Ash-Shabuni Pembagian Waris Menurut Islam jakarta 1995.

[4] Sayid Sabiq. Fiqh Sunnah, terjemahan Mahyudin Syaf, jil.14, Penerbit Al-Maarif, Bandung,1993 h. 263

READ MORE - Ashabah

Pemeliharaan Anak (Hadhonah)

A. Pengertian

Hadanah menurut bahasa berarti meletakan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong, atau meletakan sesuatu dalam pangkuan. Seorang ibu waktu menyusukan, meletakan anak dipangkuannya, dan melindungi dari segala yang menyakiti. Erat hubungannya dengan perngertian tersebut, hadanah menurut istilah ialah tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri.

Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu memerlukan orang lain dalam kehidupannya, baik dalam pengaturan fisiknya, maupun dalm pembentukan akhlaknya. Seseorang yang melakukan tugas hadanah sangat berperan dalam hal tersebut. Oleh sebab itu masalah hadanah mendapat perhatian khusus dalam ajaran Islam. Di atas pundak orangtuanyalah terletak kewajiban untuk melakukan tugas tersebut. Bilamana kedua orangtuanya tidak dapat atau tidak layak untuk tugas itu disebabkan tidak mencukupi syarat-syarat yang diperlukan menurut pandangan Islam, maka hendaklah dicarikan pengasuh yang mencukupi syarat-syaratnya. Untuk kepentingan seorang anak, sikap peduli dari kedua orangtua terhadap masalah hadhanah memang sangat diperlukan. Jika tidak, maka bisa mengakibatkan seorang anak tumbuh tidak terpelihara dan tidak terarah seperti yang diharapkan. Maka yang paling diharapkan adalah keterpaduan kerjasama antara ayah dan ibu dalam melakukan tugas ini. Jalinan kerjasama antara keduanya hanya akan bisa diwujudkan selama kedua orang tua itu masih tetap dalm hubungan suami istri. Dalam suasana demikian, kendatipun tugas hadhanah sesuai dengan tabiatnya akan lebih banyak dilakukan oleh pihak ibu, namun peranan ayah tidak bisa diabaikan, baik dalam memenuhi semua kebutuhan yang memperlancar tugas hadhanah, maupun dalam menciptakan suasana damai dalam rumah tangga dimana anak diasuh dan dibesarkan.

Harapan diatas tidak akan pernah tercapai, bilamana terjadi perceraian antara ayah dan ibu si anak. Peristiwa perceraian, apapun lasannya merupakan petaka bagi anak. Di saat itu anak tidak lagi dapt merasakan kasih sayang sekaligus dari kedua orangtuanya. Padahal merasakan kasih sayang sekaligus dari kesua orangtua merupakan unsure penting bagi pertumbuhan mental seorang anak. Pecahnya rumah tangga kedua orangtua, tidak jarang membawa kepada terlantarnya pengasuhan anak. Itulah sebabnya perceraian sedapat mungkin harus dihindarkan. Dalam sebuah hadist diingatkan, bahwa “sesuatu yang halal (dibolehkan) yang paling tidak disukai Allah ialah perceraian.”(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).

B. Kedudukan Hukum Hadhanah

Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya dan orang yang mendidiknya.

Didalam Islam terdapat hukum yang berkenaan dengan hadhanah berdasarkan ijtihad para ulama yang merujuk kepada hadist Rasul dan Al-Qur’an. Begitu juga di Negara Indonesia tedapat hukum yang berkenaan dengan hadhanah.

1. Hadhanah Menurut Hukum Islam

Para ahli hukum Islam sepakat bahwa hukum hadhanah adalah wajib merujuk pada hadist Rasulullah SAW yang berbunyi :

“Setiap anak yang dilahirkan dalam fitrah. Hanya ibu bapaknya lah yang menjadikan mereka Yahudi, Nashrani atau Majusi.

Dari hadist tersebut dapat disimpulkan bahwa tugas orang tualah untum mendidik anaknya menjadi pribadi muslim yang hakiki.

Namun persoalan muncul mana kala kedua orang tua anak tersebut bercerai. Namun para ahli hukum Islam sepakat bahwa ibu adalah orang yang paling berhak melakukan hadhanah. Namun mereka berpendapat dalam hal-hal yang lain terutama tentang lamanya masa asuhan seorang ibu.

Seandainya hak hadhanah berada dalam pihak ibu bukan berarti seorang ayah lepas tanggung jawabnya dalam penafkahan anak. Seorang ayah tetap diwajibkan memberi nafakah si anak sesuai dengan kemampuannya sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an :

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya…….(QS. Al Baqarah ; 233)

2. Hadhanah Menurut Hukum Positif Indonesia

Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas yang merupakan rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena, masalah hadhanah ini belum dapat deiberlakukan secara efektif sehingga pada kehakiman dilingkungan Peradilan Agama pada waktu itu masih merujuk pada hukum hadhanah dalam kitab-kitab fiqih. Baru setelah diberlakukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, dan Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang penyebar luasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menyelesaikannya.

Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1991 tentang perkawinan pasal 98-106 dijelaskan bahwa orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai usia 21 tahun dan belum melakukan pernikahan. Kewajiban orangtua memelihara dan menguasai anak meliputi pengawasan (menjaga keselamat jasmani dan rohani), pelayanan (memberi dan menanamkan kasih sayang) dan mewakili harta anak serta mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan. Ketentuan ini berlaku pula pada saat terjadi perceraian diantara orang tua.

Mengenai masalah siapa yang lebih berhak untuk melakukan hadhanah dan masa hadhanah setelah terjadinya perceraian akan lebih jelas dibahas pada pembahasan berikutnya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan tentang kewajiban ayah untuk menafkahi anaknya yang berada dalam asuhan ibu. Hal ini tertuang pada pasal 104.

C. Waktu Hadhanah

Dalam literature fiqih disebutkan dua periode bagi anak dalam kaitannya dengan hadhanah, yaitu masa sebelum mumayyiz, dan masa sesudah mumayyiz. Periode sebelum mumayyiz adalah dari waktu lahir sampai usia menjelang tujuh tahun atau delapan tahun. Pada masa tersebut pada umumnya seorang anak belum lagi mumayyiz atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya. Periode yang kedua yaitu periode mumayyiz, yaitu masa dimana usia anak tujuh tahun sampai menjelang balig berakal. Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan mana yang berbahaya dan mana yang bemanfaat bagi dirinya. Prof. Abdul Rahman I. Doi, Ph.D dalam bukunya menuliskan pemeliharaam atas seorang anak lelaki sampai usia tujuh tahun dan bagi perempuan sampai mencapai usia puber. Sedangkan madzhab Syi’ah Imamiyah berpendapat sampai usia dua tahun bagi lelaki dan tujuh tahun bagi perempuan.

Beberapa ulama madzhab berselisih pendapat mengenai masa asuh anak. Hanafi berpendapat masa asuhan adalah tujuh tahun untuk lelaki dan sembilan tahun untuk perempuan. Syafi’i mengatakan tidak ada batasan tertentu bagi asuhan. Anak tetap tinggal besama ibunya sampai ia dapat memilih dengan siapa ia akan tinggal. Bila anak diam maka ia ikut ibunya. Sedangkan Hanbali berpendapat masa asuh anak lelaki dan perempuan adalah tujuh tahun dan setelah itu diberi hak untuk memilih dengan siapa ia akan tinggal.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pada bab 24 masalah pemeliharaan anak pasal 98 menjelaskan bahwa batas usia anak dalam pengawasan orang tuanya adalah sampai usia anak 21 tahun selama belum melakukan pernikahan dan pada kasus perceraian dijelaskan dalam pasal 105 bahwasanya pada periode mumayyiz (dalam hal ini anak berumur kurang dari 12 tahun) hak hadhanah ada pada tangan ibu dan setelah masa mumayyiz anak diberi hak untuk memilih.

D. Yang Lebih layak melakukan Hadhanah

Seperti disinggung sebelumnya, kewajiban melakukan hadhanah terletak di pundak kedua orangtua. Prinsip tersebut hanya berjaln lancar bilamana kedua orangtua tetap dalam hubungan suami-istri. Yang menjadi persoalan adalah apabila kedua orangtua telah berpisah atau bercerai, maka pihak manakah yang lebih berhak terhadap anak itu. Dalam kaitannya dengan masalah ini ada dua periode bagi anak yang perlu dikemukakan:

1. Periode Sebelum Mumayyiz

Periode ini adalah dari waktu lahir sampai menjelang umur tujuh atau delapan tahun. Pada masa tersebut seorang anak belum lagi mumayyiz atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya. Pada periode ini setelah melengkapi syarat-syarat pengasuh seperti akan dikemukakan nantinya, kesimpulan ulama menunjukan bahwa pihak ibu lebih berhak terhadap anak untuk melakukan hadhanah. Kesimpulan ini didasar atas :

a. Sabda Rasulullah yang maksudnya: “Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya, niscaya Allah akan memisahkannya dengan yang dikasihinya di Hari Kemudian:. (HR. Abu Daud)

b. Hadis dari Abdullah bin Umar bin al-Ash menceritakan, seorang perempuanmengadu kepada Rasulallah tentang anak kecilnya, dimana mantan suaminya bermaksud membawa anak mereka bersamanya setelah menceraikannya. Lalu Rasulullah besabda: “Kamu(perempuanitu) lebih berhak terhadap anak itu selama belum menikah dengan lelaki lain”. (HR. Abu Daud dan Ahmad)

c. Sesuai dengan isi hadist-hadist tersebut diatas adalah keputusan khalifah Abu Bakr ra dalam kasus sengketa antara Umar bin Khatab dengan bekas istrinya. Umar bin Khattab dengan salah seorang istrinya mendapat seorang anak yang diberi nama ‘Ashima, kemudian ia bercerai dengan istrinya. Pada suatu hari Umar pergi ke Quba’, ia mendapati anaknya sedang bermain. Ketika ia memegang anaknya dengan maksud membawanya pergi, terjadilah pertengkaran dengan pihak ibu. Kasus ini segera disampaikan kepada Khalifah Abu Bakar, dan ia memutuskan bahwa anak itu ikut ibunya (Riwayat Ibnu Syaibah).

d. Ibu lebih mengerti dengan kebutuhan anak dalam masa tersebut dan lebih bisa memperlihatkan kasih sayangnya. Dengan demikian pula anak dalam masa itu sedang amat membutuhkan untuk hidup dekat dengan ibunya.

Bedasarkan alasan-alasan diatas, apabila terjadi perceraian, demi kepentingan anak dalam umur tersebut, maka ibu lebih berhak untuk mengasuhnya, bilamana persyaratan-persyaratannya dapat dilengkapi. Ibnu Qudamah seorang pakar hokum pengikut Madzhab Hanbali dalam kitabnya Al-Mughni menjelaskan tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam masalah tersebut.

2. Periode Mumayyiz

Masa mumayyiz adalah dari umur tujuh tahun sampai menjelang balig berakal. Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan mana yang berbahaya dan mana yang bemanfaat bagi dirinya. Oleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat menjatuhkan pilihannya sendiri apakah ikut ibunya atau ikut ayahnya. Dengan demikan ia diberi hak pilih menentukan sikapnya. Dasar k=hukumnya adalah hadis Abu Hurairoh yang menceritakan seorang perempuanmengadukan tingkah mantan suaminya yang hendak mengambil anak mereka berdua, yang telah mampu menolong mengambil air dari sumur. Lalu Rasulullah kedua pihak yang bersengketa dan mengadili: “Hai anak, ini ibumu dan ini ayahmu. Pilihlah yang mana yang engkau sukai untuk tinggal bersamanya. Lalu anak itu memilih ibunya”.

Anak yang disebut dala hadist diatas sudah mampu membantu ibunya mengambil air disumur, yang diperkirakan berumur diatas tujuh tahun atau sudah mumayyiz. Dengan demikian, hadist tersebut menunjukan bahwa anak yang sudah mumayyiz atau sudah dianggap mampu menetukan pilihan sendiri, diberi hak untuk memilih sendiri.

Dan apabila dikarenakan suatu sebab sehingga baik ibu tidak layak melakukan hadhanah maka diserahkan kepada saudara-saudara perempuan dengan urutan prioritas sebagai berikut :

a. Ibunya ibu

b. Ibunya ayah

c. Nenek dari ibu

d. Nenek dari ayah

e. Saudara perempuan seayah dan seibu

f. Saudara perempuan seibu

g. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah dan seibu

h. Anak perempuan dari saudara perempuan seibu

i. Bibi dai ibu yang seayah dan seibu

j. Bibi dari ibu yang seibu

k. Bibi dari ayah yang seayah dan seibu

Apabila saudara perempuannya pun dianggap tidak layak maka hak hadhanah pindah ke pihak laki-laki dengan urutan priorotas sebagai berikut :

a. Ayah

b. Kakek yang terdekat

c. Saudara seayah dan seibu

d. Saudara lelai ataupun kerabat lainnya dari pihak ayah dimulai dari jarak yang paling dekat.

Jika para wali beradasarkan hukum ini tidak ada juga, maka hakim atau pengadilan menunjuk orang yang akan melakukan hadhanah sekaligus menjadi walinya.

E. Syarat-syarat Bagi yang Melakukan Hadhanah

Untuk kepentingan anakdan pemeliharannya diperlukan beberapa syarat bagi yang melakukan hadhanah, sebagai berikut:

1. Yang melakukan hadhanah hendaklah sudah balig berakal, tidak terganggu ingatannya, sebab hadhanah itu merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau gangguan ingatn tidal layak melakukan tugas hadhanah. Ahmad bin Hanbali menambahkan agar yang melakukan hadhanah tidak mengidap penyakit menular.

2. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik mahdun (anak yang diasuh), dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.

3. sesorang yang melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya memegang amanah, sehingga dengan itu dapat lebih menjamin pemeliharaan anak. Orang yang rusak akhlaknya tidak dapt memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh karena itu tidak layak melakukan tugas ini.

4. jika yang melakukan hadhanah itu ibu kandung dari anak yang diasuh, disyaratkan tidak kawin dengan laki-laki yang lain. Dasarnya adalah penjelasan Rasulullah bahwa seorang ibu hanya mempunyai hak hadhanah bagi anaknya selama ia belum menikah dengan lelaki lain (HR. Abu Daud). Adanya syarat tersebut disebabkan kekhawatiran suami kedua tidak merelakan istrinya disibukan mengurus anaknya dari suami pertama. Oleh karena itu, seperti disimpulkan ahli-ahli fiqih, hak hadhanahnya tidak menjadi gugur jika ia menikah dengan kerabat dekat si anak, yang memeperlihatkan kasih sayang dan tanggung jawabnya. Demikan pula tidak menjadi gugur hak hadhanahnya apabila suami keduanya rela dan menerima kenyataan. Hal itu terjadi pada diri Ummu Salamh, ketika ia menikah dengan Rasulullah, anaknya dari suami pertama tetap dalm asuhannya (HR. Ahmad). Berdasarkan kenyataan ini Ibnu Hazmin berpendapat tidak gugur hak hadhanah seorang ibu dengan menikahnya dia dengan lelaki lain, kecuali jika suami kedua itu jelas menolaknya.

5. Seseorang melakukan yang hadhanah harus beragam Islam. Seorang nonmuslim tidak berhak dan tidak boleh ditunuk sebagai pengasuh. Tugas mengasuh termasuk didalamnya usaha mendidik anak menjadi muslim yang baik, dalam hal ini menjadi kewajiban mutlak atas kedua orangtua.

Allah SWT berfirman :

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

(QS. At-Tahriim: 6)

Para ahli fiqh menjadikan ayat tersebut yang mana mengajarkan agar memelihara diri dan keluarga dari siksa api neraka sebagai dasar disyaratkannya seorang hadhin (orang yang mengasuh) beragama Islam. Karena salah satu tujuan dari hadhanah adalah menjadikan anak seorang muslim yang hakiki dan tujuan itu sulit tercapai apabila yang mengasuhnya bukan seorang muslim.

Penutup

Demikian beberapa hal tentang hadhanah dan kaitannya baik secara fiqhiyah maupun menurut kompilasi hukum islam di Indonesia. Masalah hadhanah sangatlah kompleks dan cukup luas jangkauannya. Dalam menyelesaikam masalah hadhanah ini tidak hanya mengacu kepada ketentuan formalnya saja, melainkan harus memperhatikan nilai-nilai dari hukum dalam masyarakat, kaidah-kaidah agama, lingkungan dan keadaan ayah serta ibu yang akan diberi hak untuk melakukan hadhanah danj juga aspek lain yang mungkin berpengaruh demi kemaslahatan diri anak yang akan menjadi asuhannya.

Dalam pengambilan keputusan dalam hadhanah haruslah dilakukan secara cermat dengan mengutamakan cara kekeluargaan dan dengan penuh hikmat kebijaksanaan dan memperhatikan adapt istiadat setempat. Apabila setelah segala cara halus tidak dapat ditemukan jalan keluar maka boleh ditempuh dengan cara paksa untuk memutuskan persoalan hadhanah.

READ MORE - Pemeliharaan Anak (Hadhonah)